MENGUBAH PARADIGMA

 Oleh Imam Suryadi

Pada hari selasa pagi yang cerah dan belum turun, matahari bersinar penuh kelembutan. Udara terasa mulai panas, meronta. Terdengar hiruk pikuk manusia dengan aktifitasnya. Di kejauhan terdengar bunyi suara knalpot kendaraan yang hilir mudik. Semoga ini adalah hari yang indah menuju gerbang kesuksesan. Semoga Anda pun tengah merasakan indahnya hari ini, semoga kesuksesan dan kebarokahan terus berpihak pada Anda dan juga kita semua.

Jika Anda sedang dirumah, sedang bercengkerama dengan keluarga, tiba-tiba pintu rumah Anda diketuk kemudian Anda membuka pintu rumah Anda. Tampak sebuah kotak berwarna coklat di depan pagar. Ternyata pagi itu Anda mendapat bingkisan. Pengirimnya pun tertera jelas di situ: tetangga sebelah rumah. Ada apa? Dengan tergesa-gesa Anda membuka kotak itu. Ternyata isinya sangat mengejutkan Anda: setumpuk (tlethong) kotoran sapi!

Bagaimana perasaan Anda? Anda mungkin bingung, kesal, atau marah. ''Ini sudah keterlaluan!'' pikir Anda. ''Tetangga sebelah itu memang harus diberi pelajaran!'' Lantas apa yang akan Anda lakukan? Anda mungkin langsung melabraknya. Atau paling tidak mempersiapkan ''serangan'' balasan. Nah, kalau Anda jadi melaksanakan niat tersebut, bagaimana respon tetangga Anda? Bisa dibayangkan ''perang'' yang terjadi pada hari berikutnya dapat lebih seru dari perang AS melawan Irak tempo hari.

Namun, seorang kawan yang mengalami hal ini ternyata memberikan respon yang berbeda. Ia memang terkejut melihat kotoran sapi itu. Tapi kemudian ia berpikir, ''Betapa baiknya tetanggaku ini. Ia benar-benar memperhatikan pekaranganku. Ia tahu persis bahwa rumput dan tanamanku tidak terlalu subur. Karena itu ia menyediakan pupuk untukku. Luar biasa, aku harus ke rumahnya sekedar menyampaikan rasa terima kasihku!''

Pelajaran menarik apa yang dapat diambil dari cerita sederhana tadi?
Ternyata kita tidak melihat dunia ini sebagaimana adanya, tetapi sesuai dengan keadaan kita sendiri. We see the world as we are, not as it is. Dengan demikian sebuah peristiwa yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda tergantung darimana kita melihatnya. Sebagian kita kotoran sapi dipersepsikan sebagai penghinaan dan ajakan ''berperang.'' Karena itu kita marah dan mempersiapkan serangan balasan. Sementara ada kawan yang menganggap kotoran sapi sebagai hadiah dan bukti perhatian tetangganya. Ia justru berterima kasih. Jadi dimana letak masalahnya? Pada kotoran sapi atau pada cara kita memandang kotoran sapi tersebut? Jelaslah bahwa ''cara kita memandang suatu masalah adalah masalah itu sendiri.''

Dalam bahasa sehari-hari cara kita memandang ini sering disebut dengan berbagai istilah seperti persepsi, asumsi, wawasan, keyakinan, pemikiran, prasangka, prejudis, dan sebagainya. Semua istilah ini terangkum dalam kata paradigma. Paradigma adalah jendela untuk melihat dunia. Saya berani mengatakan bahwa:

Paradigma ini merupakan milik kita yang terpenting. Mengapa? Karena semua tindakan kita, apapun tanpa terkecuali, pasti didasari oleh suatu paradigma!

Sekali lagi, coba kita renungkan baik-baik.

Semua tindakan kita dalam hidup dasarnya adalah paradigma.
Bagaimana kita melihat suatu masalah akan menentukan apa yang akan kita lakukan. Apa yang kita lakukan akan menentukan apa yang kita dapatkan.


Jadi,

kalau kita tidak puas dengan apa yang kita dapatkan sekarang, kita harus mengubah perilaku kita. Namun kita tak akan dapat mengubah perilaku kita sebelum membongkar paradigma kita.

Perubahan paradigma yang kita lakukan akan mengubah juga panilaian orang lain terhadap diri kita, berubah menjadi "Image" negatif menjadi positif sesuai perubahan perilaku kita.
Hilangkanlah semua perilaku dari kebiasaan jelek yang melekat pada kita seperti perilaku Jorok dan Kampungan alias Jokam, menjadi perilaku yang baik dan penuh percaya diri untuk menata diri kita menjadi seorang pemimpin.

Semua paradigma ini harus dibongkar terlebih dulu agar kita mendapatkan perubahan yang langgeng. Membongkar paradigma adalah langkah pertama dan terpenting jika kita menjadi pemimpin. Pakar kepemimpinan Stephen Covey pernah mengatakan: ''Kalau Anda menginginkan perubahan yang kecil dalam hidup garaplah perilaku Anda, tapi bila Anda menginginkan perubahan-perubahan yang besar dan mendasar, garaplah paradigma Anda!''

Dalam bahasa kita paradigma hampir setingkat dengan niat; niat karena Allah. Saya katakan hampir setingkat sebab nilai paradigma merupakan bagian dari niat karena Allah. Ia bisa sebagai bagian, juga bisa wujud niat itu sendiri tergantung bagaimana kita menerapkannya. Manifestasi niat karena Allah ini sungguh hebat bisa melebihi paradigma manapun juá, karena nilainya yang dunia akhirat.

Setelah kita menyadari bahwa mendengar sebagai dasar kepemimpinan, maka selanjutnya adalah mengadakan perubahan terhadap diri kita. Menyetir arah mana yang akan kita tempuh. Jalur mana yang akan kita ambil. Ajaran apa yang telah diberikan kepada kita dalam islam? Jawabnya adalah husnudhon. Inilah maksud perubahan paradigma yang digembar-gemborkan para trainer leadership.

Kita selalu diingatkan untuk berhati – hati dengan persangkaan, terutama persangkaan yang jelek. “Iyyakum wadhonn- takutlah kalian pada persangkaan (jelek).” “Ana ‘inda dhonni abdi bihi – Aku ada di sisi persangkaan hamba dengannya.” Kita punya kewajiban terus-menerus berusaha menjaga persangkaan baik kita kepada Allah dan kepada setiap permasalahan yang kita hadapi. Sebab dengan terus-menerus berprasangka baik akan membuat hidup kita berkembang, legowo, senang dan bahagia. Oleh karena itu, sampai ada hadist yang menegaskan arti pentingnya husnudzon tersebut yaitu : Allah tidak akan memanggil seorang hamba sebelum merubah dhonnya kepada Allah.

Sebagai penguat dalam hal ini, ingatlah dalil: tafaqqohu qobla an-tusawwadu wa ba’dahu (mencari kefahamanlah kalian sebelum ditokohkan dan setelahnya). Disaat belum menjadi pemimpin, belum ditokohkan, maka kita punya kewajiban belajar sebenar-benarnya. Niat kita, dzonn kita, paradigma kita disetel untuk belajar mencari kepahaman, bukan yang lain. Namun, giliran kita mendapat amanah untuk menjadi pemimpin, maka niat, paradigma dan dhonn kita, kita usung ke arah seorang pemimpin, seorang pengatur dengan sebenar-benarnya. Bukan seorang pelajar lagi, bukan belajar lagi. Tapi lebih pada bagaimana mendengarkan dan melayani, bukan dilayani. Oleh karenanya disebut sadermo dalam bahasa jawanya, artinya perubahan paradigma – kesadaran total kita – sebagai pemegang amanah, dari belajar menjadi melayani.

Dengan perubahan paradigma dimaksud, seorang pemimpin, akan bisa menyikapi setiap persoalan yang dihadapi dengan cakrawala yang luas. Dalam bahasa jawa biasa disebut ‘nyegoro’, selangkah di depan dan bisa menoleh ke belakang. Tidak terkotak pada patron pribadi, namun selalu memandang keadaan apa adanya. Tanpa tendensi dan tetep istiqomah. Tegak dan lurus di jalan ALLAH. Paradigma yang benar akan membuat seseorang menjadi pemimpin bukan pemimpi ( ingat huruf n – nya hilang).

Demikianlah sedikit uraian dinamika dhonn, dalam kerangka peningkatan mutu dan kualitas jiwa kita – wahai para calon-calon pemimpin.

Alhamdulillah jazakumullohu khoiro
Salam,

Postingan populer dari blog ini

Rahasia Angka 354 bagi warga LDII, dan banggalah menjadi warga LDII !!

ALAMAT MASJID LDII SELURUH DUNIA -DAFTAR TELPONNYA

PERSYARATAN NIKAH DENGAN ANGGOTA POLRI SESUAI PERKAP 9 TAHUN 2010